Sebagian sejarawan menilai bahwa kisah Cindua Mato merupakan sebuah cerita yang mengambil settingan dan inspirasi dari kerajaan Pagaruyung pada suatu periode. Diduga periode itu adalah ketika terjadinya kevakuman di Pagaruyung sekitar awal abad 15 hingga awal abad 16. Sepeninggal Anannggawarman banyak terjadi huru-hara perebutan tahta di Pagaruyung dan juga disebabkan oleh perubahan akidah rakyat Minangkabau yang sebelumnya animisme Hindu Buddha menjadi muslim yang mendorongnya berkurangnya dukungan rakyat terhadap kekuasaan Pagaruyung yang otoriter dan aristokrat.
Karena serangan
dari kerajaan-kerajaan di timur, Pagaruyung terdesak dan sebagian besar
kalangan istana menyelamatkan diri ke tenggara Pagaruyung.
Menurut masyarakat Lunang (termasuk bekas
wilayah kesultanan
Inderapura di masa lampau), keturunan dari Bundo Kandung dan Cindua
Mato masih ada sampai sekarang disana dan dibuktikan dengan adanya makam mereka
di sana.
Pada zaman dahulu
kala hiduplah seorang ratu bernama Bundo Kanduang, yang konon diciptakan
bersamaan dengan alam semesta ini (samo
tajadi jo alamko). Dia adalah timpalan Raja Rum, Raja Cina dan Raja dari
Laut. Suatu hari Bundo Kanduang menyuruh Kembang Bendahari, seorang dayangnya
yang setia, untuk membangunkan putranya Dang Tuanku, yang sedang tidur di
anjungan istana. Kembang Bendahari menolak, karena Dang Tuanku adalah Raja
Alam, orang yang sakti. Bundo Kanduang lalu membangunkan sendiri Dang Tuanku,
dan berkata bahwa Bendahara sedang mengadakan gelanggang di nagarinya Sungai
Tarab, untuk memilih suami buat putrinya. Karena gelanggang tersebut akan
dikunjungi banyak pangeran, marah dan sutan, dan putra-putra orang-orang
terpandang, Dang Tuanku dan Cindua Mato seharusnya ikut serta di dalamnya.
Bundo Kanduang memerintahkan Dang Tuanku untuk menanyakan apakah Bendahara akan
menerima Cindua Mato sebagai suami dari putrinya, Puti Lenggo Geni. Setelah
menerima pengajaran tentang adat Minangkabau dari Bundo Kanduang, Dang Tuanku,
Cindua Mato dan para pengiringnya berangkat ke Sungai Tarab.
Di Sungai Tarab
mereka disambut oleh Bendahara. Dang Tuanku bertanya apakah Bendahara bersedia
menerima Cindua Mato yang “bodoh dan miskin” sebagai menantunya. Sebenarnya
Cindua Mato adalah calon menantu ideal, dan karena itu lamaran tersebut
diterima. Dang Tuanku kemudian berbincang-bincang dengan Bendahara, yang
merupakan ahli adat di dalam Basa Ampek Balai, membahas adat Minangkabau dan
apakah telah terjadi perubahan dari adat nenek moyang. Menurut Bendahara
prinsip-prinsip yang diwariskan dari perumus adat Datuk Ketemanggungan dan
Datuk Perpatih Nan Sebatang tetap tak berubah.
Sementara itu
Cindua Mato mendengar pergunjingan di pasar bahwa Puti Bungsu, tunangan Dang
Tuanku, akan dinikahkan dengan Imbang Jayo, Raja Sungai Ngiang, sebuah negeri
di rantau timur Minangkabau. Menurut kabar itu, di sana tersebar berita bahwa
Dang Tuanku diasingkan karena menderita penyakit. Puti Bungsu adalah putri Rajo
Mudo, saudara Bundo Kanduang, yang memerintah sebagai wakil Pagaruyung di Ranah
Sikalawi, tetangga Sungai Ngiang. Ketika menemukan bahwa cerita ini disebarkan
oleh kaki tangan Imbang Jayo, Cindua Mato bergegas mendesak Dang Tuanku untuk
meminta permisi pada Bendahara dan kembali ke Pagaruyung. Gunjingan seperti itu
adalah hinaan kepada Raja Alam.
Di Pagaruyung
Cindua Mato menceritakan Dang Tuanku dan Bundo Kanduang apa yang didengarnya di
pasar. Bundo Kanduang naik pitam, namun sebelum bertindak dia mesti berunding
dulu dengan Basa Ampek Balai. Dalam rapat-rapat berikutnya para menteri
tersebut berusaha menengahi Bundo Kanduang pada satu pihak, yang tak dapat
menerima hinaan dari saudaranya, dan Dang Tuanku beserta Cindua Mato pada pihak
lain, yang menganjurkan kesabaran. Pertemuan tersebut berakhir dengan
kesepakatan bahwa Cindua Mato akan berangkat sebagai utusan Bundo Kanduang dan
Dang Tuanku ke Sikalawi, dengan membawa Sibinuang, seekor kerbau sakti, sebagai
mas kawin untuk Puti Bungsu.
Dengan menunggang
kuda sakti, Si Gumarang, dan ditemani kerbau sakti, Si Binuang, Cindua Mato
berjalan menuju Ranah Sikalawi. Di perbatasan sebelah timur, di dekat Bukit
Tambun Tulang, dia menemukan tengkorak-tengkorak berserakan. Setelah membacakan
jampi-jampi, dan berkat tuah Dang Tuanku, tengkorak-tengkorak tersebut mampu
menceritakan kisah mereka. Mereka sebelumnya adalah para pedagang yang
bepergian melalui bukit Tambun Tulang dan dibunuh para penyamun. Mereka
mendesak Cindua Mato untuk berbalik dan kembali, namun Cindua Mato menolak. Tak
lama sesudahnya para penyamun menyerang, namun dengan bantuan Si Binuang, ia
berhasil mengalahkan mereka. Para penyamun tersebut mengaku bahwa Imbang Jayo,
raja Sungai Ngiang(Sungai Singingi),
mempekerjakan mereka tak hanya buat memperkaya dirinya, tetapi juga untuk
memutus hubungan antara Pagaruyung dan Rantau Timur, dan dengan demikian
melempangkan rencananya untuk mengawini Puti Bungsu.
Kedatangan Cindua
Mato menggembirakan keluarga Rajo Mudo, yang berduka mendengar kabar penyakit
Dang Tuanku. Kehadiran Cindua Mato dianggap sebagai pertanda restu Bundo
Kanduang atas perkawinan yang hendak dilangsungkan.
Dengan berpura-pura
kesurupan Cindua Mato berhasil bertemu empat mata dengan Puti Bungsu tanpa
memancing kecurigaan keluarga Rajo Mudo. Mereka percaya hanya Puti Bungsu saja
yang mampu menenangkannya. Cindua Mato bertutur pada Puti Bungsu bahwa Dang
Tuanku mengirimnya untuk membawanya ke Pagaruyung, karena ia sudah ditakdirkan
untuk menikah dengan Dang Tuanku. Dalam pesta perkawinan yang berlangsung, saat
Imbang Jayo tengah berperan sebagai pengantin pria, Cindua Mato melakukan
hal-hal ajaib yang menarik perhatian lain dan menculik Puti Bungsu. Cindua Mato
membawanya ke Padang Ganting, tempat Tuan Kadi, anggota Basa Ampek Balai yang
mengurus soal-soal keagamaan bersemayam.
Dengan menculik
Puti Bungsu Cindua Mato telah melanggar hukum dan melampaui wewenangnya sebagai
utusan Pagaruyung. Tuan Kadi lalu memanggil anggota Basa Ampek Balai lainnya
untuk membahas pelanggaran yang dilakukan Cindua Mato. Namun pada pertemuan
yang diadakan Cindua Mato menolak menjelaskan perbuatannya.
Basa Ampek Balai
lalu menceritakan kejadian ini pada Bundo Kanduang, yang murka pada kelakuan
Cindua Mato. Namun ia masih tetap menolak menjawab. Keempat menteri ini lalu
memutuskan berunding dengan Raja Nan Duo Selo, Raja Adat dan Raja Ibadat.
Keduanya, mengetahui latar belakang kejadian tersebut, sambil tersenyum
menyuruh keempat menteri tersebut menyerahkan keputusan kepada Dang Tuanku,
Raja Alam.
Pada pertemuan
berikutnya perdebatan terjadi antara Bundo Kanduang, yang berteguh
mempertahankan adat raja-raja, dan Dang Tuanku, yang menganjurkan memeriksa
alasan di balik tindakan Cindua Mato. Imbang Jayo telah menghina Dang Tuanku
dengan berusaha mengawini tunangannya, dan menceritakan fitnah. Sekarang
giliran Imbang Jayo buat dihina. Imbang Jayo juga mempekerjakan penyamun untuk
memperkaya dirinya dan memutus hubungan antara Minangkabau dan rantau timurnya.
Cindua Mato tak layak dihukum karena dia hanya alat untuk utang malu dibayar
malu.
Cindua Mato
dilepaskan dari hukuman, dan rapat itu kemudian membahas perkawinan antara
Cindua Mato dan Puti Lenggo Geni, dan juga antara Dang Tuanku dan Puti Bungsu.
Setelah masa persiapan, perkawinan kerajaan tersebut dilangsungkan di
Pagaruyung, dilanjutkan dengan pesta yang dihadiri oleh banyak pangeran dan
raja dari segenap penjuru Pulau Perca.
Sementara itu,
Imbang Jayo yang merasa dipermalukan oleh Cindua Mato bersiap-siap menyerang
Pagaruyung. Dengan senjata pusakanya, Cermin Terus (camin taruih), dia menghancurkan sebagian negeri Pagaruyung. Cermin
itu akhirnya dipecahkan oleh panah sakti Cindua Mato. Ketika Imbang Jayo sibuk
memperkuat pasukannya Bundo Kanduang dan Dang Tuanku meminta Cindua Mato
mengungsi ke Inderapura, negeri di rantau Barat, dan dengan demikian tidak ada
alasan lagi buat Imbang Jayo memerangi Pagaruyung.
Geram karena gagal
membalas dendam, Imbang Jayo lalu protes pada Rajo Nan Duo Selo. Pada pertemuan
yang dipimpin oleh kedua raja tersebut, dan dihadiri oleh keempat menteri, Imbang
Jayo mendakwa bahwa seorang anggota keluarga kerajaan telah mempermalukan
dirinya, sebuah pelanggaran yang tak termaafkan. Namun raja-raja tersebut
bertanya: siapa yang memulai penghinaan tersebut, apa bukti dakwaan Imbang
Jayo? Tuduhan terhadap anggota kerajaan tanpa bukti cukup bukan soal main-main.
Kedua raja akhirnya memutuskan Imbang Jayo dihukum mati.
Begitu mengetahui
anaknya disuruh bunuh oleh Rajo Duo Selo, ayah Imbang Jayo, Tiang Bungkuak,
bersiap-siap membalas dendam. Cindua Mato kembali dari Inderapura, dan Dang
Tuanku memerintahkannya melawan Tiang Bungkuak. Namun bila Cindua Mato gagal
membunuhnya, dia harus bersedia menjadi hamba Tiang Bungkuak, agar Istana
Pagaruyung terlepas dari ancaman.
Pada suatu malam,
saat menunggu serangan Tiang Bungkuak, Dang Tuanku bermimpi bertemu seorang
malaikat dari langit yang berkata dia, Bundo Kanduang dan Puti Bungsu sudah
waktunya meninggalkan dunia yang penuh dosa ini. Pagi harinya Dang Tuanku
mengisahkan mimpinya pada Bundo Kanduang dan Basa Ampek Balai. Mengetahui waktu
mereka sudah dekat, mereka mengangkat Cindua Mato sebagai Raja Muda.
Cindua Mato
menunggu Tiang Bungkuak di luar Pagaruyung, namun dalam duel yang berlangsung
dia tak mampu membunuh Tiang Bungkuak. Cindua Mato lalu menyerah pada kesatria tua
itu, dan mengikutinya ke Sungai Ngiang sebagai budak. Pada saat yang sama
sebuah kapal terlihat melayang di udara membawa Dang Tuanku dan anggota
keluarga kerajaan lainnya ke langit.
Suatu hari, ketika
Tiang Bungkuak sedang tidur siang, Cindua Mato membaca jampi-jampi dan berhasil
mengungkap rahasia kekebalan Tiang Bungkuak dari mulutnya sendiri. Ternyata
Tiang Bungkuak hanya dapat dibunuh menggunakan keris bungkuk (karih bungkuak)
yang disembunyikan di bawah tiang utama rumahnya. Cindua Mato mencuri keris itu
lalu memancing Tiang Bungkuak agar berkelahi dengannya. Dalam duel tersebut
Cindua Mato berhasil membunuh Tiang Bungkuak dengan keris curiannya.
Setelah kematian
Tiang Bungkuak para bangsawan Sungai Ngiang (Sungai
Singingi) mengangkat Cindua Mato menjadi raja. Kemudian dia juga
diangkat sebagai raja Sikalawi, setelah Rajo Mudo turun tahta. Cindua Mato
menikahi adik Puti Bungsu,
Puti Reno
Bulan. Dari hasil pernikahannya ini Cindua Mato memperoleh puteri
yang diberi nama Puti Lembak
Tuah dan putera yang diberi nama Sutan Lembang
Alam.
Setelah beberapa
lama menghabiskan waktu di Rantau Timur, Cindua Mato kembali ke Pagaruyung,
untuk memerintah sebagai Raja Minangkabau. Dari perkawinannya dengan Puti Lenggo
Geni ia mendapatkan anak bernama Sutan
Lenggang Alam.
Copy : Sejarah
Pagaruyung - Universitas Andalas Sumatera Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar